Tantangan Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi – Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) merupakan metode yang diterapkan hampir di seluruh sekolah di Indonesia pada masa pandemi Covid-19. Hal ini harus dilakukan, guna melindungi siswa dari risiko penularan dan penyebaran virus corona.
Terkait hal tersebut, slot bet 200 perak Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan, dalam prosesnya, siswa, guru, orang tua, sekolah, dan dinas pendidikan di daerah masing-masing menghadapi berbagai tantangan.
Hal ini terlihat dari data dan fakta lapangan yang dihimpun KPAI saat melakukan serangkaian pengawasan di 42 wilayah Indonesia. Dalam sesi webinar bertajuk ‘Mempelajari Kesuksesan di Masa Pandemi, Bagaimana Caranya?’ yang digelar Suara.com, Jumat (6/11/2020), Retno juga memaparkan berbagai temuan KPAI yang dapat menjadi bahan pembelajaran bagi semua pihak untuk mencapai keberhasilan mahasiswa dalam melaksanakan PJJ di masa pandemi.
1. Kondisi psikologis
Pada PJJ tahap pertama, kata Retno, KPAI tidak melihat adanya perubahan yang signifikan, sebab para siswa sudah sempat melakukan pembelajaran tatap muka selama kurang lebih 9 bulan. Saat pandemi mulai, mereka mulai melakukan PJJ sekitar 2-3 bulan.
Namun tantangan muncul saat PJJ tahap kedua dimulai. Dimana anak-anak memulai tahun ajaran baru dimana segalanya berubah. Mulai dari kelas, teman, guru, mata pelajaran, bahkan sekolah baru bagi siswa yang baru lulus dari jenjang sebelumnya.
Baca juga: Realitas Virtual dalam Pendidikan
Belum lagi berbagai tuntutan yang terus menerus dilontarkan, mulai dari tugas, hingga sulitnya meminta bantuan orang lain, karena belum pernah berinteraksi satu sama lain sebelumnya. Hal ini kemudian membuat siswa merasa tertekan.
“Saat ini menurut data kami yang paling stres adalah siswa kelas 3, SMA, dan kelas 6. Karena mendapat tekanan dari keluarga, dan yang kedua, dalam posisi dituntut atau diancam ujian. Itu yang membuat anak-anak ini stres,” jelasnya.
2. Peran orang tua dan siswa
Di masa pandemi ini, kata Retno, tidak sedikit orang tua yang masih menetapkan target tertentu terhadap anaknya tanpa memahami kesulitan yang dihadapi anak itu sendiri.
Oleh karena itu, di masa pandemi ini, sebaiknya orang tua tidak memiliki target khusus untuk anaknya, seperti target orang dewasa. Kepentingan orang tua terhadap anaknya paling baik, karena ranking anak harus dilupakan, ujarnya lagi. .
Sebaliknya di masa pandemi seperti sekarang ini, yang terpenting adalah bagaimana membuat anak bahagia. Ketika anak senang, lanjut Retno, maka imunitasnya akan kuat, dan ketika imunitasnya kuat, ia bisa belajar apa saja.
3. Kesenjangan fasilitas pendukung
Meski kini era digital, namun menurut data KPAI, 50 persen anak di luar Pulau Jawa belum terlayani PJJ online. Jadi, mereka tidak bisa mengakses pelajaran online karena berbagai alasan.
“Banyak sekali anak-anak yang tidak punya gadget, tidak punya alatnya. Cuma gak ada nomornya, mau isi kuota gratisnya dimana? Sehingga pada akhirnya bantuan tidak kunjung datang. Selain itu, itu sulit. untuk mendapatkan sinyal di beberapa daerah,” jelasnya.
Jadi, tambah Retno, nampaknya masih terdapat disparitas digital antara anak dari keluarga miskin dan kaya. Faktanya, disparitas ini sudah ada sejak sebelum pandemi dan semakin parah saat pandemi, ujarnya.
4. Sosialisasi mengenai PJJ yang belum maksimal
Berbagai upaya yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) patut diapresiasi. Namun menurut Retno, setelah KPAI melakukan kunjungan ke 42 wilayah di Indonesia, sosialisasi terkait PJJ belum dilakukan secara maksimal.
“Salah satunya adalah Surat Edaran Sekjen Kemendikbud Nomor 15 Tahun 2020 yang sebenarnya sudah jelas menunjukkan apa itu PJJ dan seperti apa mekanisme kantor sekolah. Namun dari 42 daerah, mayoritas guru dan kepala sekolah tidak mengetahui peraturan tersebut,” jelasnya.
5. Kurikulum darurat belum diterapkan di sekolah
Lebih lanjut, Retno melihat di salah satu daerah di Cilegon, Banten, mereka telah menerapkan kurikulum darurat yakni kurikulum 2013 yang disederhanakan dan disesuaikan dengan pandemi.
Sayangnya, dari 42 wilayah yang dikunjungi KPAI, hanya 2 sekolah yang melaksanakannya karena sudah mendapat instruksi jelas dari Dinas Pendidikan dan 6 sekolah melaksanakannya tanpa instruksi.