Pendidikan Karakter – Pendidikan karakter sangat diperlukan oleh bangsa Indonesia, selain untuk membendung nalar dan akhlak peserta didik atau generasi muda, hal ini juga bertujuan untuk mewujudkan generasi emas yang berkarakter sesuai dengan nilai pancasila dan nilai agama. Maraknya tawuran dan kejahatan yang dilakukan oleh remaja khususnya pelajar (SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi) telah membuat para orang tua, pendidik, masyarakat dan pemerintah resah dan cemas. Ironisnya, selain tawuran, ternyata banyak remaja yang asyik melakukan pergaulan bebas, mengonsumsi narkoba, bahkan meminum minuman beralkohol yang sudah menjadi makanan pokok sehari-hari.

Parahnya lagi, banyak anak perempuan usia sekolah (SMP, SMA, dan Universitas) yang menjadi pekerja seks komersial (PSK), bahkan pelecehan seksual terhadap siswa di bawah umur yang dilakukan oleh guru banyak diberitakan di media massa dan media elektronik serta prostitusi di berbagai negara. negara. . negara. . tempat di Indonesia. Indonesia. Mereka menjadi kepuasan laki-laki hidung belang, hanya karena ingin menghidupi diri sendiri, keluarga, dan melanjutkan studi. Siang hari mereka belajar seperti pelajar lainnya, malam hari mereka menjadi kupu-kupu, malam hari mereka menjual dan menjual tubuh dan harga diri mereka. Agama dan adat istiadat telah dijual untuk menunjang kehidupan dan sekolah.

Semakin maju dan berkembang teknologi komunikasi, bukannya meningkatkan kualitas dan kuantitas hidup, malah menjadi lebih baik dan taat pada agama. Namun kenyataannya, moralitas remaja semakin terpuruk. Lalu siapa yang paling bertanggung jawab atas kemerosotan moral generasi muda? Apakah salah mereka atau orang-orang disekitarnya?

Baca juga: 8 Kumpulan Ide Kreatif untuk Meningkatkan Minat Baca Siswa di Perpustakaan Sekolah

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahwa pada tahun 2010 hingga 2015, tawuran antar pelajar mengakibatkan 271 pelajar meninggal dunia. Hingga September 2018, disebutkan jumlah korban tawuran bertambah 14 orang, artinya meninggal dunia sebanyak 309 orang. Dari data tersebut harus ada sosok yang paling bertanggung jawab dalam pembentukan akhlak, budi pekerti dan akhlak generasi muda agar menjadi generasi muda yang baik dan bertakwa terhadap agama, tanah air dan bangsanya. Penulis menggarisbawahi 3 poin, yaitu:

1. Pendidikan informal yaitu keluarga.

Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dalam membesarkan, mendidik dan membimbing anak-anaknya. Dan yang paling berperan dalam membesarkan dan mendidik anak dalam sebuah keluarga adalah seorang ibu dan seorang ayah. Jadi, “ayah dan ibu adalah sekolah yang utama”. Oleh karena itu, sebagai sekolah utama dan pertama, seorang ayah dan ibu harus memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Merawat dan mendidik anaknya menjadi anak yang baik dan santun serta berakhlak mulia. Ayah dan ibu mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap anak-anaknya dalam bidang apapun, baik itu akhlak, keimanan, akhlak, jasmani dan sosial. Apabila seorang ayah dan ibu tidak dapat mendidik anaknya dengan baik, maka anak tersebut kelak akan menjadi anak yang durhaka kepada orang tuanya dan bejat serta mempunyai tingkah laku atau akhlak yang tidak baik bagi dirinya dan orang lain serta tidak memuliakan Tuhan. Namun jika seorang ayah dan ibu mendidik anaknya dengan baik dan penuh kasih sayang, maka kelak anak tersebut akan menjadi anak yang berbakti dan berbudi luhur karena masa depan seorang anak bergantung pada sejauh mana orang tua mendidik dan membimbingnya.

2. Pendidikan Formal yaitu lembaga pendidikan atau sekolah.

Sekolah merupakan tempat di mana peserta didik dididik, diseduh menjadi manusia yang cerdas, sukses, ahli dan mapan dalam segala bidang ilmu, serta menjadi individu yang baik bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat, serta bagi Tuhan. Peran guru merupakan kunci utama dan teladan pertama bagi siswa, perkataan dan perilaku guru benar-benar diperhatikan dan diperhatikan bahkan segera disadari oleh siswa. Jadi, guru tidak hanya bertugas menyampaikan pelajaran (transfer ilmu), tidak hanya memberikan pemahaman kepada peserta didik, tanpa melakukan penilaian baik terhadap materi pelajaran yang diajarkan maupun perilaku (moralitas). Guru sebagai teladan yang patut dikagumi dan diteladani harus memberikan dan menjadi teladan yang baik sesuai dengan nilai-nilai agama (transfer of value) bagi peserta didik, baik dari segi moral maupun non moral.

Guru adalah cermin bagi siswa. Oleh karena itu, guru harus menjadi cermin yang bersih, baik, dan berusaha tidak kotor dan ternoda debu. Jangan sampai guru melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai agama, sosial, dan etika. Suka melakukan hal-hal negatif dihadapan siswa, apalagi siswa yang menjadi objek utamanya. Penyebaran kasus asusila atau pencabulan yang dilakukan guru terhadap siswanya sendiri menjadi perbincangan hangat dan aktual di media elektronik maupun cetak. Pelayanan guru ternoda oleh segelintir guru yang tidak berperikemanusiaan. Bahkan sekolah dijadikan ladang kemaksiatan untuk memenuhi nafsu bejat gurunya. Jad